OPINI - Disaat ramai issue tentang kasus Tanah Negara, semua lapisan masyarakat berteriak lantang di media online, cetak dan media sosial lainnya. Sebut saja para Anggota DPRD, Tokoh Partai, LSM, Tokoh Masyarakat, kalangan Pers dan pihak-pihak lain yang berteriak lantang “MELAWAN KORUPSI”. Tetapi saat ini, Pemerintah Daerah sedang membahas Raperda Pengelolaan Aset Daerah, tetapi sedikit sekali elemen dari masyarakat yang “KOAR-KOAR” kasus “TANAH NEGARA” menyebarkan informasi, sosialisasi atau masukan demi berhasilnya regulasi dalam Raperda Pengelolaan Barang Milik Daerah.
Saat
ini Pemerintah Daerah dan DPRD sedang membahas 3 Raperda yaitu: Raperda
tentang perlindungan dan pengembangan Klaster Kopi, Raperda tentang
Pengelolaan Barang Milik Daerah dan Raperda tentang Izin Usaha Jasa
Kontruksi.
Mengutip
pernyataan Ahli Hukum Tata Negara, Prof. Mahfud MD, menyatakan
“Banyaknya produk per-Undang-Undang-an (UU) yang dilakukan uji materi di
Mahkamah Konstitusi (MK) membuat rasa prihatin Ketua MK Mahfud MD.
Fungsi legislasi dalam membuat UU, dari anggota DPR sangat lemah.
Mengapa sangat lemah?”
Mahfud
MD mengatakan banyak anggota DPR itu yang bukan orang hukum. Bahkan,
sekolahnya hanya di pesantren. Jadi, nggak ngerti legal drafting
(pembuatan undang-undang) dan aturan ketatanegaraan. https://www.issuu.com/metrosiantar/docs/kamis_28_februari_2013/51.
Mengapa
orang-orang demikian bisa menjadi anggota DPR? Nah, itulah akibat dari
sistim perekrutan caleg yang demikian mudahnya sehingga setiap orang
bisa mengajukan diri menjadi calon wakil rakyat. Bahkan, banyak
orang-orang yang jauh dari dunia hukum diajak dan dirayu-rayu oleh
pengurus partai untuk menjadi caleg. Mereka diajak-ajak karena faktor
ketokohan, kekayaan, kepopuleran, dan faktor-faktor lainnya yang
sesungguhnya semua jauh dari dunia yang disebut oleh Mahfud MD tadi.
Anggota
DPR lebih sering bolos dari pada mengikuti proses-proses pembuatan
legislasi. Ini bisa terjadi karena disebabkan oleh faktor ketidakmampuan
terhadap ilmu hukum dan materi pembahasan. Tidak bisa mengikuti
pembahasan dan materi sehingga mereka merasa tidak enjoy berada di dalam
ruang sidang. Daripada kelihatan diam dan tidak vokal mereka lebih
memilih bolos atau sekadar tanda tangan kehadiran saja.
Tetapi
diluar sidang mereka lebih menemukan sesuatu yang lebih enjoy. Yakni
memilih ngobyek atau mencari kerja sambilan di luar, menjadi broker
proyek dengan calon rekanan atau sebagai “Busser” politik yang lebih
menguntungkan. Berteriak lantang terhadap issue penyimpangan Pejabat
Daerah yang lagi ramai di Medsos, agar masyarakat menilai dirinya
“REFORMIS dan ANTI KORUPSI”. Hal-hal itulah yang menyebabkan mengapa
banyak anggota DPRD tidak produktif dalam membuat regulasi Peraturan
Daerah, tetapi siap berteriak mewakili masyarakat sekaligus “TEBAR PESONA” dan “CARI MUKA” agar mendapat suara pada periode pecalegan
berikutnya.
Para
tokoh lain seperti Tokoh LSM, Tokoh Masyarakat, kalangan Pers dan
pihak-pihak lain jangan hanya berteriak lantang “MELAWAN KORUPSI”,
tetapi berikan usulan-usulan, pemikiran dan ide/gagasan dalam penambahan
dan pengurangan pasal-pasal Raperda, kepada Pemerintah Daerah atau
Wakil Rakyat, terkait pembahasan regulasi Pengelolaan Aset Daerah saat
ini, sebelum produk hukum tersebut disahkan.
Proses
legislasi yang sekarang dilaksanakan Pemerintah Daerah dan DPRD,
seharusnya dapat dihasilkan regulasi yang dapat melindungi aset daerah
dan dapat digunakan sepenuhnya untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Tetapi tak satupun kata keluar dari “MULUT” wakil rakyat
kita, tak satupun ide tertuang dari “PEMIKIRAN” mereka, tentang apa yang
akan mereka usulkan dan pembahasan Raperda untuk melindungi aset
daerah.
Jangan
hanya pandai mengkritisi dan berteriak jika ada pejabat yang diduga
melakukan perbuatan melawan hukum, tetapi DPRD dan elemen masyarakat
lainnya juga harus turut berperan aktif dalam membuat produk hukum yang
baik, agar tidak ada celah bagi pejabat atau pihak lain untuk
“BERKOLABORASI” melakukan tindak pidana “KORUPSI”.
Penulis : Cak War